II KESALAH PAHAMAN / PENGERTIAN YANG DISEBABKAN OLEH SISTIM AGAMA BUDDHA :
Agama Buddha berasal dan diwariskan dari India. Mengenai sistimnya ada sebagian yang tidak cocok dengan keadaan lama di Tiongkok, misalnya: Cuh Cia (Meninggalkan rumah, istilah bagi orang yang meninggalkan keduniawian menjadi Bhikshu)dan Suh Sze (Cia Cai) vegitarian = orang yang hanya makan sayur-sayuran tidak makan barang bernyawa/sayurmis), bagi yang tidak mengerti, tidak biasa, mengenai ini dapat menimbulkan banyak kesalah pahaman.
I. Cuh Cia (Meninggalkan rumah): Adalah suatu sistim agama Buddha India, masyarakat Tionghoa/China terutama yang beragama Kongfunius, kesalah pahaman terhadap agama Buddha besar sekali. Di Tiongkok, setiap orang yang mendengar orang mengatakan: ’Kita belajar agama Buddha, semua orang di dunia ini akan musnah/tidak ada. Mengapa? Semuanya meninggalkan rumah Cuh Cia. Tidak ada laki bini anak-anak, masyarakat apa ini? Ini adalah suatu kesalah pahaman/pengertian yang parah/ fatal sekali, saya sering mengumpamakannya demikian, misal: para guru yang mengajarkan murid, mana diajarkan semua menjadi guru, menjadikan suatu dunia para guru? Mengenai hal ini, di Filipinna, kesalahpahaman tidak terlalu keras, karena dapat kita lihat di mana-mana biarawan dan biarawati, mereka Cuh Cia/meninggalkan rumah/ keduniawian, tetapi ini hanya sebagian dari umat agama Katholik, bukan berarti, semua yang beragama Katholik harus menjadi biarawan/biarawati.
Yang belajar agama Buddha ada yang meninggalkan rumah ada yang tidak, yang meninggalkan rumah bisa mempelajari Buddha Dharma, yang tidakpun dapat. Mereka sama-sama dapat melatih melepaskan kehidupan dan kematian. Jadi Cuh Cia tidak mutlak. Namun bagaimanapun juga, mengapa Cuh Cia masih diperlukan? Karena untuk mengembangkan agama Buddha perlulah sekelompok orang untuk mengkoordinir dan meluaskannya. Jadi diperlukan orang yang meninggalkan rumah, tidak dapat beban keluarga, sehingga dapat menjalankan dan mengembangkan agama Buddha dengan sempurna.
Inti penggerak agama Buddha terletak pada orang yang Cuh Cia, tidak menikah. Dalam agama Baratpun dikenal sistim demikian. Selain itu banyak ilmiawan dan filosop memegang prinsip ini demi majunya pengetahuan dan filsafat. Tujuannya agar tidak terganggu oleh keadaan, tidak terganggu oleh beban keluarga.
Sistim Cuh Cia adalah membebaskan diri dari keduniawian, tetapi sepenuh hati mengabdikan diri untuk Buddha Dharma, maka itu Cuh Cia adalah urusan laki-laki. Ia harus memiliki keuletan dan kerajinan yang luar biasa. Tetapi jika Cuh Cia disalah artikan, Cuh Cia yang tidak pada tempatnya, bukannya memajukan agama namun malah menghambatnya.
Ada orang, begitu belajar agama Buddha, terus terpikir ingin meninggalkan rumah/Cu Cia. Dalam mempelajari Agama Buddha itu harus meninggalkan rumah, bukan saja salah paham/mengerti sendiri, orang lain juga dibuat gentar dan tidak berani mempelajari agama Buddha. Pemikiran ini, belajar agama Buddha harus Cuh Cia, adalah tidak benar! Harus mengerti bahwa meninggalkan rumah/ Cuh Cia itu tidak mudah; jadilah seorang upasaka (penganut agama Buddha biasa yang ada di masyarakat, tidak meninggalkan rumah) yang baik lebih dahulu, demi dharma ia berlatih. Jika benar-benar dapat bertekad kuat, melatih diri meninggalkan rumah/Cuh Cia, mengabdikan diri pada Buddha Dharma, baru meninggalkan rumah. Dengan demikian diri kita sendiri lebih mantap, juga tidak menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap masyarakat.
Yang terdapat hubungan dengan Cuh Cia/meninggalkan rumah, dapat dikatakan ada 2 point;
(1) Ada orang yang melihat Vihara/Klenteng Buddha yang besar, megah dan anggun, suci dan bagus, lalu mengagumi para Bhikshu. Dikiranya Bhikshu2 yang tinggal di dalam ada para dermawan yang memeliharanya, jadi tidak perlu melakukan pekerjaan, tinggal duduk dan makan menikmati rezeki. Seperti pepatah mengatakan : "Matahari terbit tiga pal belum bangun, kalah dengan kesengangan para Bhikshu”. Demikianlah jenis adagium yang salah, tidak mengerti para bhiksu dan urusan/pekerjaannya masing-masing, harus giat dan latihan sendiri. Permulaan dan akhir malam, mereka giat mempelajari Buddha Dharma serta mengajari Dharma terhadap umat di dalam. Ia harus berkelana ke segala penjuru, pergi menyebarkan kebenaran. Melewati kehidupan yang sederhana yang getir, berusaha giat demi umat dan Dharma. Setelah memperoleh kemanfaatan, lalu memanfaatkan juga kepada orang lain. Hal tersebut sukar didapat oleh sebab itu dinamakan Ratna. Di manakah letak kenganggurannya, hidup menanti dana dari umat? Ini mungkin karena yang menjadi bhiksu banyak, yang dapat memenuhi kewajibannya sedikit sehingga banyak kesalah pahaman dari masyarakat!
Bagi yang kontra/anti agama Buddha mengatakan Bhikshu tidak melakukan pekerjaan apa-apa dan menjadi penghambur biaya dan parasit masyarakat, seperti tidak berguna sedikitpun. Tidak tahu bahwa tidak semua orang harus melakukan pekerjaan atau usaha dagang, bertani, jadi guru, wartawan, usaha bebas lainnya, apakah dapat dikatakan pemborosan biaya? Bhikshu bukan tidak ada pekerjaan, melewati kehidupan sederhana tetapi berusaha giat untuk kemajuan. Selain pekerjaannya menguntungkan dirinya juga membimbing orang ke arah kebajikan, menitik-beratkan pelaksanan kebaikan, teguh mencapai cita-cita, supaya martabat/budi pekerti para umat semakin hari semakin baik, dapat berlatih untuk memutuskan kematian dan kelahiran, supaya dunia kemanusiaan mendapat manfaat yang besar sekali, bagaimanakah dikatakan parasit yang tidak bekerja? Bhikshu adalah guru agama, dapat dikatakan karyawan pendidik dalam arti luas dan luhur. Oleh sebab itu bagi yang tidak mengerti Buddha Dharma mengatakan Bhikshu itu nganggur, atau parasit yang memboroskan biaya, semuanya tidak benar. Bhikshu yang sejati tidaklah demikian. Seharusnya tidak nganggur tapi sibuk! Bukan penghabis biaya tapi dapat membalas kebaikan/budi para dermawan.
II. VEGETARIAN / CHE SHU / SAYURANIST / (CIA CAI):
Umat Buddha Tiongkok mengutamakan sayuranis, sehingga yang mempelajari agama Buddha selalu menganggap mempelajari agama Buddha harus Cia Cai/Sayuranis. Bagi yang masih suka makan daging, merasa dirinya masih belum bisa mempelajari agama Buddha. Cobalah lihat di Jepang, Sailan/Ceylon, Birma, Siam/Thailand/atau umat Buddha Tibet dan Monggolia. Jangan dikatakan umat biasa di rumah-rumah. Bhikshunya juga makan daging. Apakah anda dapat mengatakan mereka bukan umat Buddha yang mempelajari Buddha Dharma? Jangan salah paham/mengerti belajar agama Buddha harus sayuranis, tidak sayuranis tidak bisa mempelajari Buddha Dharma. Belajar agama Buddha dengan sayuranis bukanlah keharusan total! Ada sebagian orang melihat orang lain mempelajari agama Buddha tetapi tidak mendapat pelajaran apa-apa, cuma belajar Cia Cai/Sayuranis. Di dalam kehidupan rumah-tangga, orang tua kita, adik-adik kita, anak istri/suami merasa muak karena menganggap sayuranis terlalu merepotkan. Sebenarnya bagi umat Buddha, harus demikian setelah mempelajarinya, yang penting/utama mengerti kebenaran Buddha Dharma. Di rumah-tangga, di masyarakat bertindak/bertingkah-laku berdasarkan ajaran agama Buddha, supaya budi pekerti/moral kita baik, hati kita tenang dan bersih. Supaya anggota keluarga lainnya merasakan, anda sebelum mempelajari Buddha Dharma keserakahannya besar, kedengkiannya berat, rasa tanggung-jawab dan welas asihnya kurang, dan setelah mempelajari agama Buddha berubah seluruhnya, keserakahannya kurang, kedengkiannya menipis, merasa sayang terhadap orang, lebih bertanggung-jawab terhadap pekerjaan. Agar khalayak/umum dapat merasakan gunanya mempelajari Buddha Dharma di masyarakat dan di rumah tangga.
Pada saat ini, bila hendak menjalankan Sayuranis, anggota rumah-tangga kita bukan saja menentang, malah sebaliknya timbul perasaan simpati. Lama2 mengikuti anda belajar Buddha Dharma. Bila begitu belajar Dharma hanya mempelajari Cia Cai/Sayuranis-nya saja, tidak mempelajari hal-hal lainnya, pasti menimbulkan hambatan, menimbulkan ejekan/antipati.
Meskipun belajar agama Buddha tidak mengharuskan Sayuranis, tetapi Sayuranis adalah budi pekerti baik dari kaum Buddhis Tiongkok yang patut dikemukakan. Buddhisme mengatakan Sayuranis dapat mengembangkan rasa welas-asih, tidak tega melukai/membunuh makhluk hidup atau memakan daging binatang dan darahnya. Bukan saja mengurangi karma buruk pembunuhan, tetapi juga menambah rasa simpati terhadap penderitaan umat manusia. Buddhisme Mahayana sangat mengutamakan Cia Cai/Sayuranis, dikatakannya Sayuranis mempunyai jasa yang besar sekali di dalam memelihara rasa welas-asih jangka panjang, makanya, orang yang sayuranis tapi tidakdapat memelihara rasa welas asih jangka panjang, hanyalah seorang pantang membunuh yang pesimis, itu sudah mendekati Therevada. Jika kita katakan dengan pandangan keduniawian, Cia Cai/Sayuranis besar sekali manfaatnya, lebih ekonomis, nilai gizinya juga tinggi, dan dapat mengurangi penyakit. Di dunia sekarang ini terdapat organisasi Sayuranis Internasional, tidak perduli siapa saja yang senang/suka sayuranis boleh ikut serta. Ternyata Sayuranis/Cia Cai adalah suatu hal yang baik, seharusnya lebih dikemukakan oleh umat Buddha. Tetapi harus diperhatikan, janganlah meminta terlalu tinggi standar belajar agama Buddha, menganggap belajar agama Buddha itu harus Cia Cai/Sayuranis. Bertemu dengan umat Buddha, lantas bertanya, Cia Cai/Sayuranis tidak? Mengapa belajar Buddha Dharma sudah begitu lama, tidak Cia Cai? Dengan demikian bila belajar agama Buddha dengan Sayuranis/Cia Cai disatukan, hal ini merupakan suatu hambatan bagi perkembangan agama Buddha.
Comments
RSS feed for comments to this post